Friday, February 17, 2012

Apalah arti kata mereka? Hidup masih harus berjalan :)

Suatu ketika ada seorang anak bersama ayahnya dan seekor unta yang ditungganginya berjalan di gurun pasir. Kemanakah mereka? Ayah dari anak tersebut mengajaknya menuju pasar. Awalnya si Ayah hendak mengajaknya berkeliling mengitari pasar sekedar untuk turut serta dalam keramaian hiruk-pikuk pasar yang tak terkendali. Anaknya duduk diatas unta dan ayahnya berjalan sambil setia dengan genggaman jarinya bersama tali yang mengikat unta tersebut. Dalam batin si anak berdecak kagum dan penuh tanya menggelitik melihat apa yang ia lihat.

“Duhai anakku, lihatlah di sekitarmu, inilah yang disebut dengan pasar.” Lirih sang Ayah. (ada backsound jengjengjeng*)

Mereka terus berjalan sambil mengamati semua pembeli dan penjual berserta aktivitasnya di pasar tersebut. Langkah unta mengiringi langkah sang Ayah mengikuti vektor tali genggaman tangan hitam keriput seorang renta nan mulia. Diujung jalan sang Ayah bertemu dengan kerumunan laki-laki. Mereka bukan penjual, bukan pula pembeli. dan mereka berkata..

“Hei, tak ada orang yang paling durhaka kecuali seorang anak yang membiarkan ayahnya berjalan diatas terik matahari sedangkan ia dengan enaknya duduk diatas tunggangan unta.” Loroh salah satu diantara mereka menyindir sang Anak yang disambut dengan gelengan banyak kepala. 

Sontak si anak dan ayah tersebut terkejut, dan malu mendengar ucapan mereka.

Si Ayah pun lansung mengambil tindakan..

“Nak, mari tukar dirimu dengan Ayah. Ayah tidak ingin engkau menjadi durhaka karena ini. Turunlah engkau, biar Ayah yang menunggangi unta dan engkau berjalan.” Lanjut sang Ayah. 

Lalu mereka melanjutkan perjalanan mengitari pasar tersebut. Dan mereka berpapasan dengan beberapa kerumunan pedagang yang lewat hendak ingin pulang..

“Aduhai, tega benar lelaki itu. Lelaki macam apa ia yang tega duduk diatas tunggangan sementara anaknya berjalan kaki sendirian diatas tanah yang panas?” Suntak sindir pedagang tersebut.

“Hei dungu, ayah macam apa kau?! Padahal untamu tak lebih jelek daripada dirimu” Lanjutnya

“hahahaha…” Sambut lelaki yang lain. 


Ayahnya pun mulai kebingungan..
“Nak, mari naik bersama ayah diatas. Mari kita tunggangi bersama unta ini.” Langkah sang Ayah menanggapi sindiran. 
Si anak pun mengikuti kata si Ayah..

Perjalanan mereka berlanjut untuk menjelajahi pasar tersebut. Sampai suatu ketika ada suara parau dari sebuah toko sayur yang sedang mencibir apa yang mereka lakukan

“Aduhai, apakah otak mereka seperti unta. Tak punyakah sedikit rasa kasihan pada unta itu?” Sindir si nenek tersebut.


Si Ayahpun kebingungan lagi, apalagi si anak..
“Nak, mari kita kita berdua turun. Barangkali ini cukup membuat mereka diam tak lagi mengejek diri kita.” Ucap sang Ayah dengan bijaksana. 


Mereka pun memutuskan untuk berjalan ke arah pulang, karena sudah tidak tahan dengan kebingungan ini. Di persimpangan jalan, mereka pun mendengar kritikan pedas lagi dari beberapa pembeli di suatu toko perhiasan.

“Demi bapakku penguasa kota ini, apakah mereka tak tahu bahwa unta untuk mereka tunggangi. Seberapa kaya memangnya mereka sampai-sampai tak sedikitpun menggunakannya?” Murka seorang perempuan yang dari pakaiannya nampak bahwa ialah seorang nona besar yang mempunyai harta yang berlimpah.


Akhirnya, mereka berjalan menuju sungai, dan di sanalah, si bapak memutuskan untuk menjeburkan untanya agar Ia tidak lagi mendengar selentingan2 selentingan yang tidak enak dari orang lain. Namun kemudian, sebuah penyesalan datang, mengapa Ia menjeburkan untanya? bukannya itu artinya dia tak lagi memiliki hewan yang bisa ditunggangi?



“Ayah, mengapa kita seperti ini? Mengapa kita diperlakukan seperti ini?” Tanya sang Anak.

“Maafkan Ayah nak, Inilah yang dinamakan pasar nak, ada diantara mereka yang menjadikan kehinaan adalah pakaian dan menghina menjadi perhiasan mereka, maaf jika Ayah terbawa emosi dan berpikir diluar nalar.”

“Anakku, Ayah ingin berpesan. Banyak yang tidak suka melihat kebaikan kita. Dan banyak pula yang tidak suka dengan keburukan kita. Hitam kita dianggap murka. Dan putih kita dianggap sok suci. Apapun yang kita kerjakan selalu salah dimata mereka. 

Duhai anakku, teruslah berjuang dimanapun kau menapak, jadikan ejekan mereka orang-orang yang berdiri atau duduk, orang-orang yang kau lewati adalah ujian yang semakin menguatkanmu bukan membuatmu lemah dalam menapaki kebenaran. Allah Yang Maha Mengetahui sengaja menurunkan mereka duhai anakku untuk menguji kita, siapa diatara kita yang beriman dan siapa diantara kita yang sabar.” Tutup sang Ayah mengakhiri perjalanan dengan sebuah hikmah.




Ini hanyalah sebuah analogi kehidupan
Ada kalanya, ketika melakukan hal baik dengan niat yang baik
Pasti ada saja orang-orang yang mengkritik
Akhirnya kita jadi terpengaruh
dan berhenti melakukannya

Lalu pada saat kita diam dan tidak melakukan hal tersebut
Lagi lagi pasti ada saja orang-orang yang kembali mengkritik kita


Lalu apa yang terjadi? kita memutuskan hal yang salah

Membuat orang lain untuk bungkam dengan mengikuti semua cara yang mereka suka

Apa yang terjadi kemudian?

Muncul lagi kata-kata pengkritikan


Lalu timbul penyesalan dalam diri kita

Muncullah pertanyaan



Bagaimana solusinya?



Lakukan saja apa yang menurutmu baik
Keep going!
Jangan terlalu banyak memikirkan apa kata orang
Karena inilah penghambat majunya hidup kita
Karena seperti kisah di atas, setiap orang itu punya pemikiran yang berbeda
dalam menafsirkan suatu hal, jadi ya pasti responnya pun akan berbeda-beda.


So, do the best for your life! selama ga ngerugiin diri kita dan orang lain, halal dan bermanfaat, buat apa kita ambil pusing! cmiwiw

No comments:

Post a Comment